Dinamika Perbedaan Madzhab dalam Islam: Studi terhadap Pengamalan Madzhab di Aceh | MUQ Pidie Jaya

Abstrak

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai dinamika perbedaan madzhab dalam Islam, dengan fokus khusus pada pengamalan dan manifestasinya di Provinsi Aceh. Penelitian ini menelusuri akar historis dominasi madzhab Syafi’i yang mengakar kuat, yang tidak hanya dipengaruhi oleh jalur masuknya Islam ke Nusantara melalui perdagangan, tetapi juga oleh dukungan kelembagaan yang disengaja dari para sultan dan ulama. Temuan utama menunjukkan bahwa pengamalan madzhab di Aceh terpolarisasi menjadi dua kelompok utama: tradisionalis, yang fanatik dalam mengikuti madzhab Syafi’i melalui tradisi keilmuan dayah, dan modernis, yang cenderung memilih pendekatan ijtihad langsung ke Al-Qur’an dan Sunnah. Dinamika ini memanifestasikan diri dalam perbedaan praktik ibadah dan pandangan sosial, seperti dalam pelaksanaan qunut subuh, niat wudu, serta tradisi tahlilan dan maulid. Laporan ini juga menganalisis peran krusial institusi, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dalam mengelola perbedaan ini melalui regulasi seperti Qanun Aceh, yang secara hukum mengakui pluralitas dalam batas-batas Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesimpulan menegaskan bahwa perbedaan madzhab adalah kekayaan intelektual Islam, namun di Aceh, ia juga menjadi tantangan sosial yang memerlukan dialog berkelanjutan dan pemahaman yang lebih dalam untuk menjaga harmoni.

Pendahuluan

Laporan ini disusun untuk mengkaji secara komprehensif dinamika perbedaan madzhab dalam konteks Islam, dengan memfokuskan studi pada pengamalan spesifik di Provinsi Aceh. Wilayah Aceh, yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah,” memiliki kekhasan dalam penerapan Syariat Islam secara formal dan terlembaga. Meskipun secara umum masyarakat Aceh dikenal sebagai penganut setia madzhab Syafi’i, realitas praktik keagamaan menunjukkan adanya keragaman dan ketegangan yang muncul dari perbedaan interpretasi dan pendekatan dalam memahami ajaran Islam. Fenomena ini memerlukan analisis yang bernuansa untuk memahami bagaimana perbedaan ini berkembang, faktor-faktor yang membentuknya, dan dampaknya pada struktur sosial keagamaan.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan utama: (1) Apa akar historis dan kelembagaan dari dominasi madzhab Syafi’i di Aceh? (2) Bagaimana perbedaan madzhab ini bermanifestasi dalam praktik ibadah dan tradisi sosial masyarakat? (3) Bagaimana kelompok-kelompok tradisionalis dan modernis, serta institusi keagamaan dan pemerintah, mengelola dinamika ini untuk menjaga harmoni? Untuk mencapai tujuan tersebut, laporan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kerangka analisis historis, sosiologis, dan hukum, guna memberikan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam tentang dinamika ikhtilaf di Aceh, dari akar teologis hingga implikasi sosialnya.

Bagian I: Landasan Teoretis Perbedaan Madzhab dalam Fikih Islam

Definisi dan Makna Madzhab

Secara etimologi, kata madzhab (Arab: الْمَذْهَبُ) berasal dari kata zahaba (هَبَ ذ) yang memiliki arti ‘berjalan’ atau ‘lewat’. Dalam terminologi keagamaan, madzhab didefinisikan sebagai jalan pikiran atau pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.1 Dengan demikian,

madzhab dapat dipahami sebagai metodologi atau pokok pemikiran yang digunakan oleh seorang ahli hukum (fuqaha) untuk memecahkan masalah dan meng-istinbath-kan hukum.1

Pandangan ini diperkuat oleh ulama seperti KH. Zainal Abidin Dimyathi, yang menyebut madzhab sebagai hukum-hukum mengenai masalah cabang yang diyakini kebenarannya dan dipilih oleh seorang imam mujtahid.1 Ketika istilah “madzhab” disematkan pada nama seorang imam, seperti Imam Syafi’i, yang dimaksud adalah seluruh pendapat dan jalan pikiran beliau mengenai suatu masalah hukum yang diperoleh melalui analisis dan

ijtihad dari sumber-sumber utama Islam.1

Laporan ini juga menegaskan bahwa bermadzhab pada dasarnya adalah pilihan yang wajar dan realistis bagi mayoritas umat Islam yang tidak memiliki perangkat yang memadai untuk melakukan ijtihad.1 Mengikuti ajaran atau pendapat seorang imam

mujtahid yang diakui kompetensinya dianggap sebagai sikap “tahu diri” bagi orang awam. Pandangan ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Nahdlatul Ulama (NU), yang memandang bahwa mewajibkan setiap Muslim untuk mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi untuk setiap hal yang diikuti adalah hal yang tidak praktis dan tidak dapat dicapai.

Faktor-Faktor Historis dan Metodologis Ikhtilaf

Perbedaan madzhab atau yang dikenal dengan ikhtilaf bukanlah fenomena yang terjadi tanpa alasan. Sejarah mencatat bahwa perbedaan pendapat ini memiliki sebab-sebab yang jelas dan mendalam, yang berakar pada metodologi ilmiah para mujtahid.3 Perbedaan ini secara fundamental menunjukkan kekayaan intelektual dan keluwesan hukum Islam, namun pada saat yang sama, jika disikapi secara dangkal, dapat memicu fanatisme yang nyaris menimbulkan perpecahan.3

Penyebab utama terjadinya ikhtilaf di kalangan para imam madzhab meliputi:

  1. Perbedaan Interpretasi Lafaz Bahasa Arab: Para ulama terkadang berbeda dalam menafsirkan makna suatu kata dalam nash (teks) Al-Qur’an atau hadis. Sebuah lafaz bisa bersifat umum (mujmal), memiliki banyak arti (musytarak), atau memiliki makna hakiki dan majazi.3 Misalnya, lafaz
    quru’ dalam Al-Qur’an dapat diartikan sebagai masa haid atau masa suci, yang memunculkan perbedaan hukum dalam masa tunggu (iddah) bagi wanita yang bercerai.5
  2. Perbedaan Riwayat dan Penilaian Hadis: Seorang imam mungkin menerima sebuah hadis dengan sanad yang kuat, sementara imam lain tidak menerima hadis tersebut karena tidak sampai kepadanya atau karena menilai sanadnya lemah. Perbedaan ini juga berkaitan dengan kriteria penerimaan perawi hadis dan metode tarjih (penguatan) antara hadis yang bertentangan.3
  3. Perbedaan Penggunaan Sumber Hukum Tambahan (Ushul Fiqh): Selain Al-Qur’an dan Sunnah, para imam mujtahid menggunakan sumber-sumber hukum tambahan yang berbeda, seperti qiyas (analogi), ijma’ (konsensus), istihsan (menganggap baik), maslahah mursalah (kemaslahatan umum), dan lain-lain.1 Perbedaan dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah ini menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda pula.3

Dengan demikian, perbedaan madzhab adalah hasil dari proses metodologis yang ketat dan bukan sekadar perbedaan selera. Namun, ketika pengikut tidak memahami metodologi ini dan hanya berpegang pada hasil akhirnya, mereka rentan terhadap fanatisme yang dapat mengarah pada sikap saling menyalahkan.3 Laporan ini akan menunjukkan bagaimana dinamika ini bermanifestasi dalam konteks Aceh.

Empat Madzhab Fikih Sunni Utama dan Ciri Khasnya

Meskipun banyak madzhab fikih yang pernah muncul, hanya empat madzhab fikih Sunni yang bertahan dan berkembang luas hingga saat ini.1 Keempat

madzhab ini adalah:

  1. Mazhab Hanafi: Didirikan oleh Imam Abu Hanifah.
  2. Mazhab Maliki: Didirikan oleh Imam Malik bin Anas.
  3. Mazhab Syafi’i: Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
  4. Mazhab Hambali: Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.1

Berdasarkan data demografi, madzhab Hanafi memiliki pengikut terbanyak di dunia (45%), diikuti oleh madzhab Syafi’i (28%), Maliki (15%), dan Hambali (2%).6 Untuk memberikan gambaran yang lebih terstruktur mengenai pondasi intelektual keempat

madzhab ini, berikut adalah tabel komparasi yang merangkum ciri khasnya.

Nama Imam Pendiri Periode Kehidupan Wilayah Dominasi Awal Sumber Hukum Utama
Imam Abu Hanifah Wafat 150 H Kufah (Irak) Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Urf 6
Imam Malik bin Anas Wafat 179 H Madinah Al-Qur’an, Sunnah, Amalan Penduduk Madinah, Qiyas
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Wafat 204 H Baghdad dan Mesir Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istishab
Imam Ahmad bin Hanbal Wafat 241 H Baghdad Al-Qur’an, Hadis, Fatwa Sahabat, Istishab

Tabel ini secara jelas menunjukkan bahwa perbedaan madzhab tidak hanya pada hasil hukumnya, tetapi juga pada sumber dan metodologi yang digunakan. Data mengenai wilayah dominasi awal, khususnya bagi madzhab Syafi’i yang berpusat di Irak dan Mesir, sangat penting untuk memahami mengapa madzhab ini kemudian menyebar luas melalui jalur perdagangan ke daerah-daerah seperti Khurasan, Pakistan, dan Yaman, sebelum akhirnya sampai ke Nusantara.8 Hal ini menghubungkan data umum dengan narasi spesifik sejarah Aceh.

Bagian II: Sejarah dan Institusionalisasi Madzhab Syafi’i di Aceh

Jalur Masuk dan Peran Awal Ulama

Studi sejarah mengonfirmasi bahwa penyebaran Islam ke Indonesia, termasuk ke Aceh, terjadi melalui jalur perdagangan. Kota-kota pelabuhan seperti Lamno di Aceh Barat, serta wilayah Pasai dan Perlak, menjadi pintu gerbang utama masuknya agama ini.8 Sejarah mencatat bahwa para mubalig dan pedagang yang membawa Islam ke Nusantara sebagian besar adalah penganut

madzhab Syafi’i.8 Salah satu ulama yang berperan sentral adalah Isma’il ash-Shiddiq, yang berhasil membuat raja Pasai memeluk agama Islam dan secara khusus mengikuti

madzhab Syafi’i.8

Kehadiran ulama yang ber-madzhab Syafi’i ini tidak hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga menyebarkan metodologi dan pemikiran fikih Syafi’i ke tengah masyarakat. Hal ini menandai tahap awal dominasi madzhab ini di Aceh dan kemudian di seluruh Nusantara.

Peran Kesultanan dan Pengesahan Negara

Dominasi madzhab Syafi’i di Aceh tidak hanya terjadi secara alami melalui jalur perdagangan, tetapi juga merupakan hasil dari proses institusionalisasi dan dukungan resmi dari para penguasa. Keberadaan madzhab ini diangkat menjadi bagian integral dari sistem kekuasaan. Laporan perjalanan pengembara Muslim asal Maroko, Ibnu Batutah, dari abad ke-14, memberikan bukti autentik bahwa madzhab Syafi’i sudah dipraktikkan secara luas di Kerajaan Samudra Pasai.9 Lebih dari itu, Ibnu Batutah mencatat bahwa sultan sendiri yang mengajarkan fikih

madzhab Syafi’i kepada rakyatnya.9 Keterlibatan langsung penguasa dalam penyebaran dan pengajaran fikih ini menunjukkan bahwa

madzhab Syafi’i diintegrasikan ke dalam struktur politik, menjadikannya identitas keagamaan resmi negara.

Dukungan politik juga termanifestasi dalam bentuk pendanaan oleh para sultan untuk penulisan kitab-kitab pengajaran fikih Syafi’i.8 Selain itu, para ulama yang diangkat ke posisi resmi di institusi kesultanan, seperti Pangeran Penghulu Nata Agama dan Khatib Imam, juga berperan aktif dalam menyebarkan fikih Syafi’i kepada masyarakat.9 Upaya ini berlanjut hingga masa kolonial Belanda dan diakui dalam sistem pengadilan agama di Indonesia pasca-kemerdekaan, di mana

madzhab Syafi’i ditetapkan sebagai rujukan utama pada tahun 1953.8

Dominasi Kultural dan Intelektual

Dominasi madzhab Syafi’i di Aceh dan dunia Melayu juga diperkuat melalui karya-karya intelektual dan akulturasi budaya. Madzhab ini menjadi “titik temu awal” dalam perkembangan hukum Islam di kawasan ini, sebagaimana dibuktikan oleh penemuan Batu Bertulis Trengganu yang memuat hukum Islam berlandaskan fikih Syafi’i.9

Salah satu tonggak penting dalam penyebaran intelektual Syafi’i adalah karya ulama besar seperti Nuruddin ar-Raniri. Setelah menyelesaikan kitab Syirāt al-Mustaqīm yang beraliran fikih Syafi’i, kitab ini disebarkan ke seluruh Nusantara, yang semakin memantapkan posisi madzhab ini.9 Fakta ini, yang diperkuat oleh penelitian sejarawan seperti Hamka, menunjukkan bahwa dominasi

madzhab ini bukan hanya adopsi pasif, melainkan proses yang didukung oleh gerakan keilmuan yang masif.

Lebih dari sekadar doktrin hukum, madzhab Syafi’i di Aceh telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kultural. Islam tradisional di Aceh, yang berafiliasi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, telah berakulturasi dengan budaya lokal. Fenomena ini, seperti yang terjadi dalam ritual rah ulei (ritual tradisional Aceh), menunjukkan bahwa ajaran Islam Syafi’i tidak datang dalam ruang hampa, melainkan beradaptasi dan bersinergi dengan tradisi setempat.10 Hal ini memperkuat statusnya sebagai fondasi keagamaan yang mengakar, yang membedakannya dari pendekatan puritanis yang mungkin menolak akulturasi.

Bagian III: Dinamika Pengamalan: Manifestasi Fikih dalam Masyarakat Aceh

Dinamika perbedaan madzhab di Aceh termanifestasi secara nyata dalam praktik ibadah sehari-hari dan tradisi sosial. Meskipun secara umum masyarakat mengikuti madzhab Syafi’i, perbedaan interpretasi dan pendekatan telah menciptakan dua kelompok besar: tradisionalis dan modernis.11 Perbedaan ini sering kali menjadi sumber ketegangan yang memerlukan pengelolaan kelembagaan.

Studi Kasus Perbedaan dalam Ibadah

  1. Qunut Subuh: Salah satu perbedaan paling kentara adalah praktik qunut dalam shalat subuh. Menurut madzhab Syafi’i, membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) dan dilakukan setelah ruku’ dalam rakaat kedua, dengan suara keras (jahr) saat shalat berjamaah.13 Pandangan ini berbeda dengan
    madzhab Hanafi dan Hambali yang tidak ada qunut dalam shalat subuh, serta madzhab Maliki yang membacanya secara rahasia (sirr) sebelum ruku’.13 Di Aceh, praktik ini menjadi titik perdebatan antara kelompok yang teguh pada
    madzhab Syafi’i dan kelompok lain yang menganggapnya tidak sesuai dengan hadis.
  2. Niat dalam Wudu: Perbedaan juga terjadi pada aspek yang lebih fundamental, yaitu niat dalam berwudu. Madzhab Syafi’i, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis, memandang niat sebagai fardhu (rukun) yang harus dilakukan, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari perbuatan wudu itu sendiri.4 Pandangan ini berbeda dengan sebagian
    madzhab lain yang tidak menempatkan niat sebagai rukun wudu. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana perbedaan metodologi para imam mujtahid dapat memengaruhi sah atau tidaknya suatu ibadah bagi seorang mukmin.

Studi Kasus Perbedaan dalam Tradisi Sosial

  1. Perayaan Maulid: Perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. adalah salah satu tradisi keagamaan terbesar dan paling meriah di Aceh, terutama di Banda Aceh.16 Tradisi ini diwujudkan dalam bentuk kenduri atau makan bersama sebagai ekspresi rasa syukur dan kecintaan kepada Nabi.16 Meskipun demikian, terdapat perbedaan pandangan mengenai hukum pelaksanaannya antara kelompok tradisionalis yang melihatnya sebagai tradisi yang baik dan beralasan, dengan kelompok modernis yang menganggapnya sebagai praktik yang tidak memiliki dasar dari ajaran Nabi.
  2. Tradisi Tahlilan: Tradisi tahlilan, yaitu ritual untuk mendoakan orang meninggal, juga menjadi bagian integral dari praktik keagamaan tradisional di Aceh.17 Di Aceh,
    tahlilan memiliki rangkaian khusus yang terdiri dari istighfar, salawat, pembacaan surat-surat pendek Al-Qur’an, dan tahlil yang dibaca secara berulang.18 Seperti halnya
    maulid, tradisi ini kuat di kalangan tradisionalis, tetapi sering menjadi titik perbedaan dengan kelompok modernis yang meragukan dasar hukumnya.

Dinamika Komunitas: Polarisasi Tradisionalis vs. Modernis

Perbedaan madzhab ini telah membentuk dua kelompok sosial utama di Aceh, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis.11 Kelompok tradisionalis sangat fanatik terhadap

madzhab Syafi’i, terutama karena ajaran ini diturunkan secara genealogis dari guru ke murid melalui sistem pendidikan dayah.11

Salah satu representasi ulama tradisionalis adalah Tgk H Syarifuddin bin Abdul Jalil atau yang dikenal dengan Abi Bidok, pimpinan Dayah Daruzzahidin Al-Istiqamatuddin di Pidie Jaya.20 Dayah ini secara eksplisit memegang paham

Ahlussunnah wal Jama’ah ber-madzhab Syafi’i dan masih kental dengan pengajaran kitab kuning.22 Istilah

Salafi yang digunakan untuk dayah ini merujuk pada tradisi mengikuti ulama-ulama terdahulu, bukan pada gerakan Salafi-puritanis modern yang menolak madzhab.22

Sementara itu, kelompok modernis cenderung menekankan perlunya kembali langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah, yang seringkali sulit diterima oleh kalangan tradisionalis.11 Dinamika ini menunjukkan bahwa perbedaan

madzhab di Aceh bukan hanya masalah fikih, melainkan juga isu identitas, pendidikan, dan metodologi.

Berikut adalah tabel yang merangkum perbandingan pengamalan ibadah dan tradisi berdasarkan madzhab dan kelompok di Aceh.

Praktik Ibadah/Tradisi Pandangan Mayoritas Madzhab Syafi’i (Tradisionalis) Pandangan Kelompok Modernis
Qunut Subuh Disunnahkan (dianjurkan) dan menjadi bagian dari shalat. Dibaca jahr (bersuara keras) setelah ruku’.13 Tidak disunnahkan, bahkan dianggap bid’ah oleh beberapa pihak.
Niat dalam Wudu Merupakan fardhu (rukun) yang harus dilakukan dan menjadi bagian dari ibadah itu sendiri.4 Niat adalah hal yang penting, tetapi bukan merupakan rukun yang membatalkan wudu jika tidak dilafalkan.4
Perayaan Maulid Tradisi keagamaan terbesar, sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw..16 Dianggap sebagai praktik yang memiliki dasar dan nilai sosial. Umumnya tidak diadakan karena dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.10
Tradisi Tahlilan Praktik umum untuk mendoakan orang meninggal dengan rangkaian khusus.17 Dianggap sebagai tradisi yang baik dan berpahala. Dianggap sebagai praktik yang tidak memiliki dasar dari ajaran Nabi dan lebih merupakan akulturasi budaya.10

Tabel ini secara visual menyoroti bagaimana perbedaan teologis yang abstrak telah diterjemahkan menjadi perbedaan ritual dan tradisi yang konkret di tingkat masyarakat, yang menjadi pemicu polarisasi antara dua kelompok utama ini.

Bagian IV: Pengelolaan Dinamika Madzhab: Peran Institusi dan Upaya Harmonisasi

Dinamika perbedaan madzhab di Aceh tidak dibiarkan tanpa kendali. Berbagai institusi, baik pemerintah maupun organisasi keagamaan, memainkan peran penting dalam mengelola dan menjaga harmoni di tengah perbedaan.

Peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh adalah lembaga resmi yang bertugas memberikan fatwa dan masukan kepada pemerintah terkait pelaksanaan Syariat Islam.24 Peran MPU sangat krusial dalam konteks ini, karena MPU sering kali harus mengambil sikap hukum yang tegas berdasarkan pilihan

madzhab. Contohnya adalah fatwa MPU Aceh No. 2 Tahun 2015 tentang talak tiga, yang menegaskan bahwa talak yang diucapkan sekaligus termasuk talak ba’in kubra (talak tiga).26 Sikap ini berbeda dengan pandangan hukum nasional yang menganggapnya sebagai

talak ba’in sughra.26 Perbedaan ini secara langsung berakar pada perbedaan pilihan

madzhab hukum dan menunjukkan peran MPU sebagai penjaga otoritas hukum keagamaan yang berlandaskan madzhab Syafi’i di Aceh.

Posisi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Aceh

Kehadiran organisasi-organisasi massa keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga mewarnai lanskap keagamaan di Aceh, termasuk di Pidie Jaya.27 NU, yang dikenal sebagai organisasi tradisionalis, secara eksplisit menggariskan dalam anggaran dasarnya untuk mengikuti salah satu dari empat

madzhab fikih, dengan prinsip moderasi (tawassuṭ), keseimbangan (tawazun), dan toleransi (tasāmuḥ).1 Metodologi NU dalam menetapkan hukum, melalui lembaga

Bahtsul Masail, bersifat hirarkis dan mengacu pada kitab-kitab klasik (kutub al-mu’tabarah) dari empat madzhab.29 Pendekatan ini secara inheren berbeda dengan Muhammadiyah yang memilih pendekatan

manhaj puritanis dengan langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Meskipun terdapat perbedaan fundamental dalam metodologi, kedua organisasi ini dapat hidup berdampingan. Pertemuan antara Kapolres Pidie Jaya dengan Ketua NU dan Ketua Muhammadiyah di Pidie Jaya menunjukkan bahwa pemerintah menyadari keberadaan dan pengaruh kedua kelompok ini.30 Hubungan yang proaktif antara pemerintah dan para tokoh agama ini menjadi salah satu mekanisme sosial yang efektif untuk mengelola potensi konflik yang mungkin muncul dari perbedaan pandangan.30

Mekanisme Legal dan Sosial dalam Mengelola Perbedaan

Untuk mengatasi potensi perpecahan yang dapat timbul dari perbedaan pemahaman dan pengamalan, Pemerintah Aceh telah mengambil langkah hukum yang signifikan melalui Qanun Aceh. Qanun ini secara eksplisit mengatur bahwa pengamalan ibadah di Aceh harus mengikuti ketentuan Syariat Islam, dengan memberikan prioritas kepada tata cara pengamalan ibadah menurut madzhab Syafi’i.31

Namun, Qanun ini tidak bersifat dogmatis. Ia secara jelas menyatakan bahwa pengamalan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara madzhab Syafi’i tetap dibolehkan, selama berada dalam bingkai madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah, dan ketenteraman umat Islam.31 Ketentuan ini merupakan respons langsung terhadap realitas di mana perbedaan pemahaman dan pengamalan dapat “menimbulkan keresahan, salah menyalahkan sampai kepada pertengkaran”.31

Qanun ini mencerminkan pemahaman yang lebih luas bahwa ikhtilaf adalah sebuah keniscayaan yang harus diakomodasi dalam sebuah kerangka hukum. Hal ini adalah contoh nyata dari tawazun atau keseimbangan yang diimplementasikan secara legal, yang memberikan ruang bagi pluralisme dalam batas-batas yang telah disepakati untuk menjaga stabilitas sosial. Lebih lanjut, studi akademis telah mengusulkan solusi untuk memperdalam pemahaman fikih dan membuka forum dialog yang objektif antara ulama dan intelektual sebagai jalan ke depan untuk mencegah perpecahan.11

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dinamika perbedaan madzhab di Aceh merupakan fenomena yang kompleks, yang berakar pada sejarah panjang dan proses institusionalisasi yang mendalam. Dominasi madzhab Syafi’i tidak hanya terjadi secara organik, tetapi juga diperkuat oleh dukungan politik dari kesultanan dan diwariskan secara terstruktur melalui sistem pendidikan dayah. Hal ini telah menciptakan identitas keagamaan yang kuat di kalangan tradisionalis, yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan dengan kelompok modernis yang menganjurkan pendekatan yang berbeda.

Perbedaan ini termanifestasi dalam praktik-praktik ibadah seperti qunut subuh dan niat wudu, serta tradisi sosial seperti maulid dan tahlilan. Namun, lanskap keagamaan di Aceh tidak sepenuhnya terpolarisasi. Lembaga-lembaga seperti MPU, NU, dan Muhammadiyah, serta perangkat hukum seperti Qanun Aceh, memainkan peran penting dalam mengelola perbedaan ini dengan memberikan kerangka kerja yang memungkinkan koeksistensi. Qanun Aceh, khususnya, merupakan model unik yang mengakui prioritas historis madzhab Syafi’i sambil tetap memberikan ruang toleransi bagi madzhab lain, dengan tujuan utama untuk menjaga kerukunan.

Berdasarkan temuan-temuan ini, laporan ini merekomendasikan langkah-langkah berikut untuk menjaga dan memperkuat harmoni di tengah perbedaan madzhab di Aceh:

  1. Peningkatan Literasi Fikih: Perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, tidak hanya pada hasil akhir hukum suatu madzhab tetapi juga pada metodologi istinbath yang melatarinya. Pemahaman ini akan membantu mengurangi fanatisme dan memupuk apresiasi terhadap kekayaan intelektual Islam.
  2. Fasilitasi Dialog Terbuka: Para ulama, intelektual, dan pemimpin masyarakat dari berbagai kelompok perlu didorong untuk berpartisipasi dalam forum dialog yang objektif dan terbuka.11 Tujuan dialog ini adalah untuk membangun jembatan pemahaman dan mencari titik temu, alih-alih saling menyalahkan.
  3. Penguatan Prinsip Moderasi: Promosi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawassuṭ (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan tasāmuḥ (toleransi) harus terus digalakkan, baik melalui pendidikan formal maupun informal, untuk memastikan bahwa perbedaan tetap menjadi rahmat dan bukan sumber perpecahan.1

Karya yang dikutip

  1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mazhab …, diakses September 2, 2025, https://digilib.uinsgd.ac.id/95911/4/Bab%201%20Nandi.pdf
  2. Madzhab dan Perkembangannya – Almanhaj, diakses September 2, 2025, https://almanhaj.or.id/2987-madzhab-dan-perkembangannya.html
  3. MAZHAB FIQIH DI INDONESIA: PERBEDAAN PENDAPAT KONSTRUKSI HUKUM ISLAM Noor Halimah Yuli Lailiyah Mahmudah Universitas Islam Neger, diakses September 2, 2025, https://maryamsejahtera.com/index.php/Education/article/download/148/166/535
  4. Pola Pemahaman Hakiki Dan Majazi Terhadap Hadist Tentang Niat (Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i) – Ar Raniry Repository, diakses September 2, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/12477/1/Roudhiatul%20Annura%2C%20150103025%2C%20FSH%2C%20SPM%2C%20082275634570.pdf
  5. Mengapa Ada Perbedaan Mazhab dan Pendapat Ulama? – Rumah Fiqih Indonesia, diakses September 2, 2025, https://www.rumahfiqih.com/konsultasi/936
  6. Sejarah Munculnya 4 Mazhab yang Populer di Kalangan Muslim – detikcom, diakses September 2, 2025, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6942093/sejarah-munculnya-4-mazhab-yang-populer-di-kalangan-muslim
  7. Mazhab dan cabang Islam – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses September 2, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_dan_cabang_Islam
  8. PERKEMBANGAN MAZHAB SYAFI’I SEBAGAI LANDASAN …, diakses September 2, 2025, https://maryamsejahtera.com/index.php/Religion/article/download/159/170/551
  9. Penyebaran Fikih Mazhab Syafi’i di Nusantara: Studi Sosio-Historis …, diakses September 2, 2025, https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/almanahij/article/download/3263/2299/10200
  10. ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (Studi …, diakses September 2, 2025, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/545
  11. DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi terhadap Pengamalan Madzhab di Aceh) | Zukhdi | Jurnal Ilmiah Islam Futura, diakses September 2, 2025, https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/1024.html
  12. (PDF) DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi terhadap Pengamalan Madzhab di Aceh) – ResearchGate, diakses September 2, 2025, https://www.researchgate.net/publication/368153990_DINAMIKA_PERBEDAAN_MADZHAB_DALAM_ISLAM_Studi_terhadap_Pengamalan_Madzhab_di_Aceh
  13. Khilafiyah Qunut Shubuh, Inilah Alasan Bagi Mereka yang Tidak Qunut – Kalam, diakses September 2, 2025, https://kalam.sindonews.com/read/580686/70/khilafiyah-qunut-shubuh-inilah-alasan-bagi-mereka-yang-tidak-qunut-1635264626
  14. Pelaksanaan membaca doa Qunut di dalam shalat Subuh menurut Madzhab Maliki dan Syafi’i – Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, diakses September 2, 2025, https://digilib.uinsgd.ac.id/25568/
  15. Niat Wudhu (Studi Komparatif Imam Hanafi dan Imam Syafi’i), diakses September 2, 2025, https://idr.uin-antasari.ac.id/2457/
  16. Aminullah: Peringatan Maulid Nabi Paling Meriah Ada di Banda Aceh, diakses September 2, 2025, https://prokopim.bandaacehkota.go.id/berita/12947/aminullah-peringatan-maulid-nabi-paling-meriah-ada-di-banda-aceh.html
  17. Tradisi Tahlilan 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari – Desa Kedungboto, diakses September 2, 2025, http://kedungboto.desa.id/kabardetail/MWsvTmRGZWZRS2ZMUk04S3F6Smo0dz09/tradisi-tahlilan-7-hari–40-hari–100-hari–1000-hari.html
  18. Ketika Orang Aceh Tahlilan di Jakarta – Terminal Mojok, diakses September 2, 2025, https://mojok.co/terminal/ketika-orang-aceh-tahlilan-di-jakarta/
  19. DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi terhadap Pengamalan Madzhab di Aceh) | Jurnal Ilmiah Islam Futura, diakses September 2, 2025, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/islamfutura/article/view/1024
  20. Abi Bidok, Salah Seorang Ulama Kharismatik Pidie Jaya Wafat – NU Online, diakses September 2, 2025, https://www.nu.or.id/obituari/abi-bidok-salah-seorang-ulama-kharismatik-pidie-jaya-wafat-c9xIG
  21. Abi Bidok, Ulama Zuhud, Menghidupkan Tarekat dan Jejak Spritual di Bumi Japakeh Halaman 4 – Kompasiana.com, diakses September 2, 2025, https://www.kompasiana.com/banghelmi2650/680628f1ed64156a2e7044e4/abi-bidok-ulama-zuhud-menghidupkan-tarekat-dan-jejak-spritual-di-bumi-japakeh?page=4&page_images=1
  22. Pesantren (Dayah) Istiqamatuddin Daruzahidin Pidie Jaya – Laduni.id, diakses September 2, 2025, https://www.laduni.id/post/read/70416/pesantren-dayah-istiqamatuddin-daruzahidin-pidie-jaya
  23. (PDF) TRADISI PERAYAAN KENDURI MAULID NABI DI ACEH BESAR – ResearchGate, diakses September 2, 2025, https://www.researchgate.net/publication/346538219_TRADISI_PERAYAAN_KENDURI_MAULID_NABI_DI_ACEH_BESAR
  24. MPU Pidie Adakan Sosialisasi Fatwa MPU Aceh dan Hukum Islam – PPID PIDIE, diakses September 2, 2025, https://ppid.pidiekab.go.id/news/post/mpu-pidie-adakan-sosialisasi-fatwa-mpu-aceh-dan-hukum-islam
  25. majelis permusyawaratan ulama aceh tahun anggaran 2022, diakses September 2, 2025, https://ppid.acehprov.go.id/inpub/download/KXYpqlgE
  26. DUALISME PERATURAN PERCERAIAN DI ACEH Kontestasi Fatwa dan Hukum Negara – E-Journal UIN SUKA, diakses September 2, 2025, https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/download/2252/1671
  27. Ustad Makmur Hasan Sufi Pimpin Muhammadiyah Pidie Jaya – Lamuri Online, diakses September 2, 2025, https://www.lamurionline.com/2023/09/ustad-makmur-hasan-sufi-pimpin.html
  28. Lantik PCNU Pidie Jaya, Ini Pesan Rais PWNU Aceh – NU Online, diakses September 2, 2025, https://www.nu.or.id/daerah/lantik-pcnu-pidie-jaya-ini-pesan-rais-pwnu-aceh-mWz5k
  29. PERBEDAAN METODE IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH DALAM CORAK FIKIH DI INDONESIA Isa Ansori STAIN Jurai Siwo Metro Abs, diakses September 2, 2025, https://e-journal.metrouniv.ac.id/nizham/article/download/878/715/2008
  30. Kapolres Pidie Jaya Jalin Sinergi dengan Ketua NU dan Muhammadiyah untuk Kemajuan dan Keamanan – iNews Portal Aceh, diakses September 2, 2025, https://portalaceh.inews.id/read/477147/kapolres-pidie-jaya-jalin-sinergi-dengan-ketua-nu-dan-muhammadiyah-untuk-kemajuan-dan-keamanan
  31. Kebebasan Beribadah dalam Qanun Aceh, diakses September 2, 2025, http://fsh.uin.ar-raniry.ac.id/index.php/id/posts/kebebasan-beribadah-dalam-qanun-aceh
Share It!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

WC Captcha 32 − 24 =

Pos Sebelumnya
KLIP ID / TWIBON MAULID NABI MUHAMMAD SAW 1447 H | MUQ PIDIE JAYA